LAPORAN
EKOLOGI HEWAN
MENGHITUNG KERAPATAN SPESIES DI BAWAH POHON TINGGI
DISUSUN OLEH:
1. DEWI ANGGRAINI (0905015052)
2. EDWAR EDI HARDADI (0905015047)
3. ISTI NAHARI (0905015080)
4. SALMIATI (0905015075)
5. SUSANTI (0905015064)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2012
MENGHITUNG KERAPATAN SPESIES DI BAWAH POHON
TINGGI
A. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui indeks keragaman spesies di
bawah pohon tinggi
2.
Untuk mengetahui kerapatan spesies
B. TEMPAT DAN WAKTU
PENELITIAN
Tempat : Kelurahan Pulau Atas kecamatan Sambutan
Waktu : Sabtu, 2 Juni 2012
C. DASAR TEORI
Ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang hubungan makluk hidup dan lingkungannya. Bumi memiliki
banyak sekali jenis-jenis mahkluk hidup, mulai dari tumbuhan dan binatang yang
sangat kompleks hingga organisme yang sederhana seperti jamur, amuba dan
bakteri. Meskipun demikian semua mahkluk hidup tanpa kecuali, tidak bisa hidup
sendirian. Masing-masing tergantung pada mahkluk hidup yang lain ataupun benda
mati di sekelilinganya. Misalnya seekor kijang membutuhkan tumbuh-tumbuhan
tertentu untuk makanan, jika tumbuhan di lingkungan sekitarnya dirusak maka
kijang tersebut harus berpindah atau mati kelaparan. Sebaliknya tumbuhan agar
bisa hidup juga tergantung pada binatang untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Kotoran binatang, bangkai binatang maupun tumbuhan, menyediakan berbagai
nutrisi yang bermanfaat bagi tanaman.
Mempelajari ekologi sangat penting,
karena masa depan kita sangat tergantung pada hubungan ekologi di seluruh
dunia. Meskipun perubahan terjadi di tempat lain di bumi ini, namun akibatnya
akan kita rasakan pada lingkungan di sekitar kita. Meskipun ekologi adalah
cabang dari biologi, namun seorang ahli ekologi harus menguasai ilmu lain
seperti kimia, fisika, dan ilmu komputer. Ekologi juga berhubungan dengan
bidang ilmu-ilmu tertentu seperti geologi, meteorologi, dan oseanografi, guna
mempelajari lingkungan dan hubungannya antara tanah, air, dan udara. Pendekatan
dari berbagai ilmu membantu ahli ekologi untuk memahami bagaimana lingkungan
nonhidup mempengaruhi mahkluk hidup. Hal ini juga bisa membantu untuk
memperkirakan atau meramalkan dampak dari masalah lingkungan seperti hujan asam
atau efek rumah kaca.
Mereka menganalisa struktur, aktifitas
dan perubahan yang terjadi di dalam dan diantara tingkatan-tingkatan ini. Ahli
ekologi biasanya bekerja di lapangan, mempelajari cara kerja alam. Mereka
sering berada di wilayah yang terisolasi seperti di sebuah kepulauan dimana
hubungan antara tanaman dan binatang mungkinlebih sederhana dan mudah untuk
dipahami. Misalnya ekologi dari Isle Royale sebuah pulau di danau Superior
telah dipelajari secara luas. Banyak ilmuwan yang mengfokuskan pada cara
memecahkan suatu masalah, seperti bagaimana cara mengendalikan efek kerusakan
polusi udara dan air yang berpengaruh terhadap mahkluk hidup.
Populasi adalah sekelompok mahkluk hidup
dengan spesies yang sama, yang hidup di suatu wilayah yang sama dalam kurun
waktu yang sama pula. Misalnya semua rusa di Isle Royale membentuk suatu
populasi, begitu juga dengan pohon-pohon cemara. Ahli ekologi memastikan dan
menganalisa jumlah dan pertumbuhan dari populasi serta hubungan antara
masing-masing spesies dan kondisi-kondisi lingkungan.
Jumlah dari suatu populasi tergantung
pada pengaruh dua kekuatan dasar. Pertama adalah jumlah yang sesuai bagi
populasi untuk hidup dengan kondisi yang ideal. Kedua adalah gabungan berbagai
efek kondisi faktor lingkungan yang kurang ideal yang membatasi pertumbuhan.
Faktor-faktor yang membatasi diantaranya ketersediaan jumlah makanan yang
rendah, pemangsa, persaingan dengan mahkluk hidup sesama spesies atau spesies
lainnya, iklim dan penyakit. Jumlah terbesar dari populasi tertentu yang dapat
didukung oleh lingkungan tertentu disebut dengan kapasitas beban lingkungan
untuk spesies tersebut. Populasi yang normal biasanya lebih kecil dari
kapasitas beban lingkungan bagi mereka disebabkan oleh efek cuaca yang buruk,
musim mengasuh bayi yang kurang bagus, perburuan oleh predator, dan
faktor-faktor lainnya.
Tingkat populasi dari spesies bisa
banyak berubah sepanjang waktu. Kadangkala perubahan ini disebabkan oleh
peristiwa-peristiwa alam. Misalnya perubahan curah hujan bisa menyebabkan
beberapa populasi meningkat sementara populasi lainnya terjadi penurunan. Atau
munculnya penyakit-penyakit baru secara tajam dapat menurunkan populasi suatu
spesies tanaman atau hewan. Sebagai contoh peralatan berat dan mobil
menghasilkan gas asam yang dilepas ke dalam atmosfer, yang bercampur dengan
awan Dan turun ke bumi sebagai hujan asam. Di beberapa wilayah yang menerima
hujan asam dalam jumlah besar populasi ikan menurun secara tajam.
Sebuah komunitas adalah kumpulan
populasi tumbuhan dan tanaman yang hidup secara bersama di dalam suatu
lingkungan. Serigala, rusa, berang-berang, pohon cemara dan pohon birch adalah
beberapa populasi yang membentuk komunitas hutan di Isle Royale. Ahli ekologi
mempelajari peranan masing-masing spesies yang berbeda di dalam komunitas
mereka. Mereka juga mempelajari tipe komunitas lain dan bagaimana mereka
berubah. Beberapa komunitas seperti hutan yang terisolasi atau padang rumput
dapat diidentifikasi secara mudah, sementara yang lainnya sangat sulit untuk
dipastikan.
Sebuah komunitas tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang mencakup wilayah yang sangat luas disebut biome. Batas-batas
biome yang berbeda pada umumnya ditentukan oleh iklim. Biome yang utama
termasuk diantaranya padang pasir, hutan, tundra, dan beberapa tipe biome air.
Peran suatu spesies di dalam komunitasnya disebut peran ekologi (niche). Sebuah
peran ekologi terdiri dari cara-cara sebuah spesies berinteraksi di dalam
lingkungannya, termasuk diantaranya faktor-faktor tertentu seperti apa yang
dimakan atau apa yang digunakan untuk energi, predator yang memangsa, jumlah
panas, cahaya atau kelembaban udara yang dibutuhkan, dan kondisi dimana dapat
direproduksi.
Ahli ekologi memiliki catatan yang
panjang tentang beberapa spesies yang menempati peran ekologi tinggi tertentu
dalam komunitas tertentu.Berbagai penjelasan banyak yang diusulkan untuk hal
ini. Beberapa ahli ekologi merasa bahwa hal ini disebabkan karena kompetisi
jika dua spesies mencoba untuk mengisi peran ekologi "niche" yang
sama, selanjutnya kompetisi untuk membatasi berbagai sumber daya akan menekan
salah satu spesies keluar. Ahli lainnya berpendapat bahwa sebuah spesies yang
menempati peran ekology yang tinggi, melakukannya karena tuntutan fisik yang
keras tentang peran tertentu tersebut di dalam komunitas. Dengan kata lain
hanya satu spesies yang menempati peran ekologi "niche" bukan karena
memenangkan kompetisi dengan spesies lainnya, tetapi karena hanya satu-satunya
anggota komunitas yang memiliki kemampuan fisik memainkan peran tersebut.
Perubahan komunitas yang terjadi disebut
suksesi ekologi. Proses yang terjadi berupa urutan-urutan yang lambat, pada
umumnya perubahannya dapat diramalkan yakni dalam hal jumlah dan jenis mahkluk
organisme yang ada di suatu tempat . Perbedaan intensitas sinar matahari,
perlindungan dari angin, dan perubahan tanah dapat merubah jenis-jenis
organisme yang hidup di suatu wilayah. Perubahan-perubahan ini dapat juga merubah
populasi yang membentuk komunitas. Selanjutnya karena jumlah dan jenis spesies
berubah, maka karakteristik fisik dan kimia dari wilayah mengalami perubahan
lebih lanjut. Wilayah tersebut bisa mencapai kondisi yang relatip stabil atau
disebut komunitas klimaks, yang bisa berakhir hingga ratusan bahkan ribuan
tahun.
Tinggi rendahnya jumlah individu
populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau
tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batansnya
secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat
ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan
bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau.
Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang dari
yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya).
Kerapatan populasi suatu spesies hewan
adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per
satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg,
tanah). Dalam hal-hal tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila
dinyatakan per satuan habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu
cacing usus per individu inang atau sekian individu werwng per rumpun padi.
Sehingga terdapat dua pengertian. Kerapatan (kasar) diukur atas satuan ruang
habitat secara menyeluruh dan kerapatan ekologis (kerapatan spesifik)
didasarkan atas satuan ruang dalam habitat yang benar-benar ditempatinya
(microhabitat). Kerapatan spesifik lebih memberikan makna antar-hubungan
ekologis. Seperti, dengan makin turunnya permukaan air danau, kerapatan
populasi ikan dalam danau secara keseluruhan (kerapan kasar) menjadi berkurang,
sedang kerapatan ekologisnya makin bertambah. Kerapatan populasi tidak selalu
harus dinyatakan sebagai jumlah individu. Apabila ukuran tubuh
individu-individu sangat bervariasi, tingkat kerapatan populasi sering
dinyatakan sebagai kerapatan biomasa (B).
B= ∑_(i=1)^(i n)▒b atau B=n x b ̅
b= berat tubuh individu
n= jumlah individu
b ̅ = rata-rata berat tubuh individu
Dalam bahasan produktivitas dan
energetika di bidang ekologi, adakalanya biomasa dinyatakan dalam satuan bera
kering (bebas air) atau satuan energy (kcal, cal, joule). Terdapat suatu
kecenderungan umum hubungan berbnading terbalik antara kerapatan dan ukuran
tubuh hewan. Spesies hewan yang berukuran tubuh kecil tingkat kerapatannya
tinggi, sedang hewan berukuran besar tingkat kerapatannya rendah.
Batas-batas Kerapatan Populasi Dalam
habitat alami yang ditempatinya, kerapatan populasi suatu spesies hewan dapat
berubah-ubah sejalan dengan waktu dalam batas-batas tertentu. Batas atas
kerapatan ditentukan oleh berbagai faktor, seperti aliran energi atau
produktivitas ekosistem, ukuran tubuh, laju metabolism, dan kedudukan tingkatan
trofik spesies hewan. Batas bawah kerapatan populasi belum diketahui dengan
pasti. Namun, dalam ekosistem yang stabil ada mekanisme homeostatis dalam
populasi, yang diduga memegang peranan penting dalam menentukan batas bawah
kerapatan.
Intensitas, Prevalensi, dan Kelangkaan
Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu
aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi
rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi
menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks
daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang
prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang
prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya
ditemui di tempat tertentu.
Spesies hewan dapat dimasukkan dalam
salah satu dari empat kategori berikut:
1. Prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya
tinggi
2. Prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya
rendah
3. Prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi
intensitasnya tinggi
4. Prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan
intensitasnya rendah.
Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat
endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Ktegorisasi
status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting
terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan
upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah. Penyebab
Kelangkaan Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan
sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun
prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab
langkanya suatu spesies sangat banyak. Namun, faktor-faktor tersebut mengkin
saja tidak sama antara spesies di suatu tempat tertentu dengan spesies di
tempat lain.
Kelangkaan suatu spesies dapat
diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab berikut:
Area yang dihuni spesies menjadi sempit
atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh
spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut.
Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies
tersebut.
Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies
hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar
jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Tempat-tempat yang secara potensial
dapat dihuni, menjadi tidak dapat ditempati akibat kehadiran spesies lain yang
merupakan pesaing, parasit atau predatornya. Dalam area yang dapat dihuni,
ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak
menjadi berkurang.
Variasi genetic spesies relatif sempit
sehingga kisaran tempat yang dapat dihuninya pun terbatas. Plastisitas
fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat yang dapat diuninya
pun terbatas. Kehadiran populasi-populasi spesies lain yang merupakan pesaing,
predator dan parasit menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hingga rendah
sekali, jauh di bawah tingkat kelimpahan yang sebenarnya masih dimungkinkan
oleh ketersedian sumber dayanya.
D. ALAT DAN BAHAN
1.
Alat
a.
Tali
rafia
b.
Meteran
c.
Kuadran
d.
pH
stick
e.
Higrometer
f.
Thermometer
g.
Camera
2.
Bahan
a.
Semut
Hitam
b.
Cacing
c.
Belalang
d.
Semut
Merah
e.
Laba-laba
f.
Jangkrik
g.
Kecoa
h.
Kaki
Seribu
i.
Orong-orong
j.
Kupu-kupu
E.
PROSEDUR
KERJA
1.
Disiapkan
raffia
2.
Dibuat
plot dengan menggunakan tali raffia dengan ukuran 10x10 meter.
3.
Dilepar
kuadran didalam plot sebanyak sepuluh kali lemparan
4.
Dihitung
spesies yang terdapat dalam kuadran dalam tiap kali lemparan
5.
Diukur
pH tanah dengan menggunakan pH stick didalam plot
6.
Diukur
kelembapan udara didalam plot dengan menggunakan hygrometer
7.
Diukur
suhu udara didalam plot dengan menggunakan thermometer.
F.
HASIL
PENGAMATAN
1. Tabel
Hasil Pengamatan
Diketahui
:
pH
tanah = 5,5
Suhu
= 320C
Kelembaban
udara = 78
a. Tabel
Kerapatan
No
|
Nama Spesies
|
KUADRAN
|
∑
Spesies
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
|||
1
|
Semut Hitam
|
6
|
5
|
20
|
6
|
18
|
27
|
15
|
10
|
8
|
12
|
127
|
2
|
Cacing
|
1
|
2
|
1
|
2
|
5
|
1
|
2
|
1
|
1
|
1
|
17
|
3
|
Belalang
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
-
|
2
|
-
|
-
|
4
|
4
|
Semut Merah
|
4
|
3
|
8
|
8
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
26
|
5
|
Laba-laba
|
-
|
1
|
-
|
1
|
-
|
-
|
1
|
-
|
3
|
4
|
10
|
6
|
Jangkrik
|
-
|
1
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
7
|
Kecoa
|
-
|
-
|
2
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
-
|
5
|
8
|
Kaki Seribu
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
-
|
2
|
-
|
-
|
-
|
3
|
9
|
Orong-orong
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
-
|
-
|
2
|
-
|
-
|
3
|
10
|
Kupu-kupu
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
198
|
Perhitungan :
1.
Semut Hitam
2.
Cacing
3.
Belalang
4.
Semut Merah
5.
Laba-Laba
6.
Jangkrik
7.
Kecoa
8.
Kaki seribu
9.
Orong-orong
10.
Kupu-Kupu
b. Tabel
Keragaman
No
|
Spesies
|
n
|
N
|
Pi
|
Ln Pi
|
Pi Ln Pi
|
H
|
1
|
Semut Hitam
|
127
|
198
|
0,64
|
-0,45
|
-0,29
|
0,29
|
2
|
Cacing
|
17
|
198
|
0,08
|
-2,52
|
-0,20
|
0,20
|
3
|
Belalang
|
4
|
198
|
0,02
|
-3,91
|
-0,08
|
0,08
|
4
|
Semut Merah
|
26
|
198
|
0,13
|
-2,04
|
-0,26
|
0,26
|
5
|
Laba-laba
|
10
|
198
|
0,05
|
-3,00
|
-0,15
|
0,15
|
6
|
Jangkrik
|
2
|
198
|
0,01
|
-4,60
|
-0,05
|
0,05
|
7
|
Kecoa
|
5
|
198
|
0,02
|
-3,91
|
-0,08
|
0,08
|
8
|
Kaki seribu
|
3
|
198
|
0,02
|
-3,91
|
-0,07
|
0,07
|
9
|
Orong-orong
|
3
|
198
|
0,02
|
-3,91
|
-0,07
|
0,07
|
10
|
Kupu-kupu
|
1
|
198
|
0,01
|
-4,60
|
-0,05
|
0,05
|
Σ
|
1,3
|
Keterangan :
n :
Jumlah Spesies
N : Jumlah
Keseluruhan Spesies
Pi :
Keragaman Spesies
Pi ln Pi :
Keragaman Jenis
H = - (Pi ln Pi)
Htotal
= - (Σ Pi ln Pi)
Apabila :
a. H
> 1 , maka indeks keragaman tinggi
b. H
= 1 , maka indeks keragaman sedang
c. H
< 1 , maka indeks keragaman rendah
Perhitungan :
1. HSemut
Hitam
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,29)
H = 0,29
Dari hasil
diatas didapatkan data Hsemut hitam kurang dari 1, yaitu 0,29
sehingga indeks keragaman semut hitam di bawah pohon-pohon tinggi adalah
rendah.
2. HCacing
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,20)
H = 0,20
Dari hasil
diatas didapatkan data Hcacing kurang dari 1, yaitu 0,20 sehingga
indeks keragaman cacing di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
3. HBelalang
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,08)
H = 0,08
Dari hasil
diatas didapatkan data Hbelalang kurang dari 1, yaitu 0,08 sehingga
indeks keragaman belalang di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
4. HSemut
Merah
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,26)
H = 0,26
Dari hasil
diatas didapatkan data Hsemut merah kurang dari 1, yaitu 0,26
sehingga indeks keragaman semut merah di bawah pohon-pohon tinggi adalah
rendah.
5. HLaba-laba
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,15)
H = 0,15
Dari hasil
diatas didapatkan data Hlaba-laba kurang dari 1, yaitu 0,15 sehingga
indeks keragaman laba-laba di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
6. HJangkrik
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,05)
H = 0,05
Dari hasil
diatas didapatkan data Hjangkrik kurang dari 1, yaitu 0,05 sehingga
indeks keragaman jangkrik di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
7. HKecoa
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,08)
H = 0,08
Dari hasil
diatas didapatkan data Hkecoa kurang dari 1, yaitu 0,08 sehingga
indeks keragaman kecoa di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
8. HKaki
Seribu
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,07)
H = 0,07
Dari hasil
diatas didapatkan data Hkaki seribu kurang dari 1, yaitu 0,07
sehingga indeks keragaman kaki seribu di bawah pohon-pohon tinggi adalah
rendah.
9. HOrong-orong
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,07)
H = 0,07
Dari hasil
diatas didapatkan data Horong-orong kurang dari 1, yaitu 0,07
sehingga indeks keragaman orong-orong di bawah pohon-pohon tinggi adalah
rendah.
10. HKupu-kupu
H = - (Pi ln Pi)
H = - (0,05)
H =
0,05
Dari hasil diatas
didapatkan data HKupu-kupu kurang dari 1, yaitu 0,05 sehingga indeks
keragaman kupu-kupu di bawah pohon-pohon tinggi adalah rendah.
Indeks Keragaman
Total dari keseluruhan spesies yang ada di bawah pohon-pohon tinggi adalah 1,3
, sehingga indeks keragaman total tergolong tinggi.
G. PEMBAHASAN
Dalam praktikum kali ini, yang bertujuan untuk mengetahui
indeks keragaman spesies dan mengukur kerapatan spesies di bawah pohon-pohon
tinggi di daerah Kelurahan Pulau Atas. Pada pengamatan ini hal yang pertama
kami lakukan adalah mebuat plot dengan ukuran 10 x 10 cm menggunakan tali
rafia. Setelah itu, kami mengambil data spesies hewan yang ada di plot secara
random dengan menggunakan kuadran yang dilempar sebanyak 10 kali secara
berturut-turut. Selanjutnya, kami menghitung jumlah spesies yang ada dalam
setiap lemparan kuadran. Setelah pelemparan kuadran sebanyak 10 kali selesai
dilanjutkan dengan mengukur pH tanah menggunakan pH stick dan didapatkan pH tanah sebesar 5,5 sehingga
daerah penelitian ini termasuk tanah bersifat asam dan cocok untuk habitat
beberapa jenis tanaman seperti rambutan, durian, nangka, cempedak, mangga, dan
lain-lain. Tanah ini juga baik untuk perkembangan berbagai jenis hewan,
sehingga di dalam plot terdapat berbagai jenis hewan seperti semut hitam,
cacing, belalang, semut merah, laba-laba, jangkrik, kecoa, kaki seribu,
orong-orong dank up-kupu. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan mengukur
kelembapan udara dengan menggunakan hygrometer dan didapatkan kelembapan udara
sebesar 78, dan termasuk daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi. Kegiatan
terkahir yang kami lakukan yaitu mengukur suhu plot dengan menggunakan
thermometer dan didapatkan suhu sebesar 320C, termasuk daerah dengan suhu yang
panas.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di lapangan
yaitu membuat plot dengan ukuran 10 x 10
meter didapatkan indeks keragaman hewan diantaranya semut hitam sebanyak 127
spesies, cacing 17 spesies, belalang 4 spesies, semut merah 26 spesies,
laba-laba 10 spesies, jangkrik 2 spesies, kecoa 5 spesies, kaki seribu 3
spesies, orong-orong 3 spesies, dan kupu-kupu 1 spesies. Total keseluruhan
spesies adalah 198 spesies, setelah melalui proses perhitungan indeks keragaman
spesies maka dapat diketahui bahwa indeks
keragaman tiap spesies di daerah penelitian
yang kami lakukan tergolong rendah.
Namun indeks keragaman total spesies yang terdapat di daerah penelitian yaitu
sebesar 1,3 sehingga tergolong tinggi. Dalam artian jumlah tiap spesies yang
terdapat di area tersebut jika dibandingkan dengan luas area keseluruhan sangat
sedikit, tetapi jika dihitung total spesies yang menempati area tersebut maka
total spesies sebanding dengan luas area penelitian yaitu 500 m2.
Hewan yang didapat dalam plot yang kami buat yaitu di
bawah pohon-pohon tinggi, hewannya relatif kecil dan beraneka ragam. Hewan yang
lebih mendominasi di dalam plot tersebut adalah semut hitam dan semut merah.
Semut hitam dan semut merah lebih mendominasi di dalam plot karena sesuai
dengan habitatnya yaitu hidup di pepohonan. Adapun hewan yang paling sedikit
jumlahnya di dalam plot yaitu kupu-kupu karena habitat dari kupu-kupu yaitu di
daerah yang banyak terdapat tumbuhan berbunga.
Di area penelitian kami juga menemukan cacing sebanyak 17
spesies, dan ini tergolong indeks keragaman tinggi sehingga tanah di daerah
tersebut tergolong subur.
H. KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan
maka dapat disimpulkan bahwa:
a.
Indeks keragaman tiap spesies yang terdapat di
bawah pohon tinggi pada area penelitian tergolong rendah karena H<1
sedangkan indeks keragaman total spesies di area penelitian tergolong tinggi
karena nilai H 1,3 berada pada H>1.
b.
Indeks kerapatan spesies terbesar yang
terdapat di area penelitian yaitu kerapatan spesies semut hitam dan semut merah
karena kedua spesies itu yang mendominasi area tersebut.
2.
Saran
Semoga laporan yang berjudul menghitung kerapatan spesies di bawah pohon tinggi
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa
Pendidikan Biologi.
DAFTAR PUSTAKA
Indriyanto. 2006. Ekologi
Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi.
Susanto, pudyo. 2000. Ekologi Hewan. Jakarta :Departemen Pendidikan
Syafe’i, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Hewan.
Bandung: ITB.
http://id.wikipedia.org/ekologI_hewan/dinamika-populasi.html
http://praycorp.blogspot.com/ ekologi hewan/dinamika-populasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan comentar, kritik dan saran agar blog ini bisa lebih baik lagi...!